Jumat, 09 November 2007

Jebol Deep Freeze

Bagi rekan-rekan yang masang deepfreeze di kompie-nya namun sayangnya lupa password untuk membukanya, jangan khawatir. Ini dia cara praktis njebol deepfreeze tanpa perlu password, apalagi sampai install ulang windows kita. Nah kebeneran gue dapet info dari jln2 ama paman google dapet link ini kl gak salah thank's bro...

Deep Freeze versi 5
Kalo versi ini sih, gampang banget mbukanya, gak perlu file installer deep freeze 5 nya, cukup pake deepunfreezer yang bisa didonlot disini (99 KB), simpan, lalu klik 2 kali, trus lihat tulisan Deep Freeze detected! di kotak bagian bawah, klik tombol Load Status lalu pilih mode Boot Thawed untuk membuka, klik tombol Save Status, dan yang terakhir restart komputermu.. selesai deh.. kalo mau dikunci lagi juga bisa, caranya hampir sama, cuma bedanya kali ini yang dipilih mode Boot Frozen. Gampang banget kan??

Deep Freeze versi 6
Nah.. kalo yang ini rada-rada ribet nih, pertama kita harus nyiapin 2 hal :

1. CD Installer Windows XP yang kita gunakan untuk nginstall pertama kali.
2. File Installer DeepFreeze 6 yang kita gunakan waktu nginstall DeepFreeze.

Nah, kalo sudah siap, masukkan CD WinXP ke CDROM trus boot lewat CDROM tersebut, lanjutkan dengan langkah-langkah seperti saat mau nginstal Windows sampai kita menemukan pilihan untuk repair instalation, lalu tekan tombol R (Repair Setup), trus ikuti lagi aja langkah-langkah seperti instalasi WinXP seperti biasanya sampai selesai.

Setelah selesai repair instalation, masuk ke WinXP dan double klik file instalasi DeepFreeze 6 kita, kalo berhasil insyaAllah yang keluar nanti jendela Uninstall DeepFreeze nya… Ya sudah, tinggal di uninstall aja DeepFreeze-nya. Beres kan??

Kalo mau masang DeepFreezenya lagi ya tinggal diinstall lagi aja. Tapi harap dipastikan passwordnya gak lupa lagi.. kan repot kalo samapi ngulangi lagi langkah-langkah di atas?

Jumat, 02 November 2007

Pacaran yang Islami

Ternyata Cinta Tidak Mustahil Abadi
Salah satu alasan utama penghujat ‘pacaran islami’ adalah seruan: “Oiii ... Ternyata Cinta tuh, Nggak Abadi!” (KHP: 130). Benarkah seruan ini? Mari kita periksa.

KHP mendasarkan seruannya itu pada pernyataan antropolog Helen Fischer bahwa “kasus-kasus perceraian muncul ketika telah mencapai empat tahun masa perkawinan” dan “kalaupun bertahan, pasti karena faktor-faktor lain” di luar cinta (KHP: 132). Mengapa hanya empat tahun masa perkawinan? Menurut teori Fischer (Four Years Itch), itu karena bekerjanya sejumlah hormon yang diproduksi di otak selama orang jatuh cinta hanya empat tahun (KHP: 132).

Layakkah teori itu untuk dijadikan sandaran? Dalam pengamatan saya, penyandaran tersebut sesat-pikir lantaran ‘bersandar pada otoritas’ yang tidak tepat. (Lihat JSP: 12-13.) Lain halnya bila yang dirujuk ialah pakarnya: psikolog atau dokter yang berkecimpung di bidang hormon. Sekalipun begitu, mungkin masih ada manfaatnya bila kita periksa teorinya. Sebab itu, marilah kita asumsikan bahwa Helen Fischer memang ahli di bidang hormon.

Menurut teori Four Years Itch itu, hormon pemicu gelora cinta cuma bertahan sekitar empat tahun, setelah itu tak berbekas lagi. Karenanya, KHP menyimpulkan dengan memakai hitung-hitungan, “misalnya, orang yang pacarannya sudah tiga tahun, berarti kan [gelora cintanya] cuma bisa bertahan setahun setelah menikah, hehehe...” (KHP: 132)

Akan tetapi, kita bisa bertanya-tanya: Benarkah teori tersebut? Kalau iya, mengapa daya tahan hormon penggelora itu empat tahun saja? Apakah sudah merupakan ‘kodrat biologis’ yang berlaku universal sepanjang masa? Mungkinkah karena itu pria yang berpoligami cenderung lebih mencintai istri-baru daripada istri-lama? Dan yang bermonogami tergoda untuk berselingkuh? Ataukah karena penghayatan interaksi dengan lawan-jenis secara ‘modern’ lah penyebab sang hormon berumur pendek? Bukankah angka empat tahun itu hanya data statistik dari penelitian terhadap sekian orang di zaman modern ini?

Pertanyaan utama kita: Apakah teori four years itch itu berlaku pula pada gelora cinta Muhammad Rasulullah saw. kepada istri-istri beliau? Mari kita periksa melalui hadits-hadits.

Aisyah r.a. berkata: “Tidak ada rasa cemburuku terhadap salah seorang dari istri-istri Nabi saw. yang melebihi rasa cemburuku terhadap Khadijah, padahal aku tidak pernah bertemu dengannya. Akan tetapi, [rasa cemburuku itu timbul] karena Nabi saw. sering menyebut-nyebut dia. ...” (HR Bukhari dan Muslim) Dari Aisyah r.a., dia berkata: “... aku berkata [kepada Rasulullah saw.]: ‘Apa yang membuatmu selalu teringat kepada salah seorang nenek dari nenek-nenek kabilah Quraisy itu? Dia sudah tua renta dan telah habis ditelan masa [karena telah lama meninggal dunia]. Bukankah Allah sudah memberimu pengganti yang lebih baik daripada dia?’” (HR Bukhari dan Muslim. Dan dalam satu hadits riwayat Ahmad disebutkan, Rasulullah saw. menjawab: “Allah tidak memberiku pengganti yang lebih baik daripada dia.” [FBSSB8: 141])

Hadits-hadits itu mengisyaratkan, rasa cinta Rasulullah saw. kepada istri pertama, yaitu Khadijah r.a., tetap bergelora walau sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan kendati dia sudah wafat dan Nabi saw. telah menikah lagi. Gelora tersebut tampaknya begitu besar, sampai-sampai istri lain yang masih hidup sangat cemburu.

Apakah abadinya cinta beliau itu khusus bagi Khadijah r.a.? Mari kita tengok dua hadits shahih lainnya:

Aisyah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw., ketika sakit yang membawa beliau ajal, bertanya: “Di mana aku besok, di mana aku besok?” Yang beliau maksud adalah hari giliran Aisyah. Lalu istri-istri beliau memberi izin kepada beliau untuk tinggal di mana saja yang beliau inginkan. Ternyata beliau memilih rumah Aisyah sampai beliau meninggal. (HR Bukhari dan Muslim) Sebelum itu, Aisyah r.a. pernah berkata: “Kaum muslimin pada saat ini sudah mengetahui betapa cintanya Rasulullah saw. kepada Aisyah.” (HR Bukhari dan Muslim)

Sewaktu menghadapi sakaratul-maut itu, sudah berapa lama Rasulullah saw. menikah dengan Aisyah r.a.? Dalam kitab Fathul Bari, jilid 8, disebutkan bahwa Nabi saw. wafat ketika Aisyah berusia delapanbelas tahun (KW1: 187). Adapun Aisyah r.a. berkata: “Nabi saw. menikahiku ketika aku masih berusia enam tahun. ... [walau] ibuku menyerahkan aku kepada beliau ketika aku baru berusia sembilan tahun.” (HR Bukhari dan Muslim) Jadi, ketika itu Aisyah r.a. telah menikah dengan beliau selama duabelas tahun.

Jika teori Four Years Itch berlaku pada diri beliau, dan dengan asumsi bahwa rasa cinta beliau dimulai pada saat nikah, maka tentunya yang paling dicintai beliau pada akhir hayat itu adalah istri terbaru yang belum sampai empat tahun beliau nikahi. Namun, hadits-hadits tersebut mengisyaratkan, yang paling beliau cintai (nomor dua sesudah Khadijah r.a.) justru istri ‘terlama’ (di antara yang masih hidup) yang telah beliau nikahi selama duabelas tahun!

Dengan demikian, terdapat indikasi bahwa Rasulullah saw. telah membuktikan, gelora asmara itu bisa abadi, sekurang-kurangnya sampai akhir hayat, bukan hanya empat tahun. Selain itu, tampaknya istri yang lebih dia cintai adalah yang lebih lama dan lebih akrab dalam berinteraksi dengan beliau. Kalau begitu, bagaimana sebaiknya kita bersikap?

Jika Anda dan calon pasangan hidup Anda berkepribadian seperti orang-orang ‘modern’ yang menjadi obyek riset Helen Fischer, dan merasa mustahil meniru pola cinta Rasulullah saw. (terutama terhadap Khadijah r.a. dan Aisyah r.a.), maka mungkin tidak ada salahnya kalian pilih strategi “tidak ada cinta sebelum nikah”. Dengan memulai asmara hanya pada saat ijab-qabul, kalian bisa mengharap gelora cinta yang maksimal selama empat tahun pertama pernikahan.

Akan tetapi, kalau kepribadian Anda dan calon pasangan hidup Anda tidak seperti orang-orang ‘modern’ yang menjadi obyek riset Helen Fischer, dan kalian yakin bahwa pola cinta Rasulullah saw. terhadap lawan-jenis di zaman ‘kuno’ itu bisa diterapkan di era ‘modern’ ini, maka bisa dimengerti bila kalian optimis mampu memperpanjang ‘usia harapan hidup’ si hormon penggelora asmara di tubuh kalian selama mungkin! Meskipun kalian pacaran selama empat tahun sebelum nikah, misalnya, insya’ Allah gelora cinta kalian tidak akan padam pada saat ijab-qabul dan bahkan masa-masa sesudahnya, hingga akhir hayat kalian berdua!

Aisha Chuang menegaskan, asmara islami tak pernah merupakan akhir. Selalu ada kelanjutannya atau harapan bagi yang menjalaninya. Dengan kata lain, cinta sejati merupakan proses yang idealnya berlangsung abadi. (NAI: 50)

Definisi ‘Pacaran’ Sangat Jelas
Di samping “tidak abadinya cinta”, alasan ‘kuat’ lain yang dijadikan andalan untuk mengklaim bahwa mustahil ada pacaran yang islami adalah “ketidakjelasan definisi pacaran”. Benarkah alasan ini kuat? Mari kita kritisi.

Sebagian penghujat ‘pacaran islami’ mendefinisikan, “Pacaran adalah aktivitas menumpahkan rasa suka dan sayang kepada lawan jenis.” (JNC: 58) Dalam pandangan saya, definisi tersebut sesat-pikir lantaran ‘terlalu sempit’ dan ‘membingungkan’. (Lihat JSP: 33-34.) Kata ‘menumpahkan’ di situ membingungkan karena bersifat sangat konotatif. Selain itu, di situ hanya diungkap hubungan searah, padahal pacaran adalah aktivitas timbal-balik dua pihak. Jadi, jika definisi tersebut yang dipakai, tentu saja definisi ‘pacaran’ menjadi tidak jelas.

Sementara itu, walau mereka berargumen dengan ‘tidak jelasnya definisi pacaran’, ada kalanya mereka malah berusaha menjelaskan definisi ‘pacaran’. Alasan mereka, “Supaya simpel dan kita nggak terjebak pada definisi yang mengaburkan.” (KHP: 114) Mereka menerangkan: “Pacaran yang nggak jelas definisinya itu, sebenarnya cuma ekspresi ... perasaan ‘suka’ pada lawan jenis, terus ditindaklanjuti dengan perilaku-perilaku yang dianggap romantis dan kemudian publik memberikan pengakuan si A pacaran dengan si B, si A pacarnya si B.” (KHP: 113) “Pokoknya yang namanya pacaran tuh, hubungan laki-laki perempuan yang bukan muhrim dalam sebuah komitmen selain Nikah! Titik.” (KHP: 114)

Begitulah mereka berusaha menunjukkan definisi-definisi ‘pacaran’ yang ‘simpel dan tidak mengaburkan’. Padahal, mereka juga menyatakan bahwa definisi ‘pacaran’ tidak jelas. Dengan begitu, saya pandang argumentasi tersebut sesat-pikir lantaran kontradiktif. Mengapa sampai kontradiktif dan bagaimana mengatasinya? Mereka belum menjelaskannya di buku mereka itu. Titik?

“Sudahlah,” seru mereka. “Mendingan kita nggak usah cari-cari kesempatan untuk ikut bagian orang-orang yang menyuburkan aktivitas baku syahwat ini. Abis, nggak jelas, gitu!” (KHP: 114) Tampaknya, pada ‘pokoknya’, mereka mendefinisikan, “pacaran adalah aktivitas baku syahwat yang dilarang oleh Islam (haram).” (JNC: 71)

Namun, dalam pengamatan saya, definisi yang ‘pokok’ tersebut sesat-pikir lantaran ‘menetapkan aksiden’. (Aksiden merupakan sifat yang “dapat ada dan dapat tidak ada”) (JSP: 16). Memang, aktivitas baku-syahwat di luar nikah dilarang oleh Islam. Tapi, apakah pacaran merupakan ‘aktivitas baku-syahwat’? Belum tentu. Dalam pacaran, bisa ada aktivitas baku-syahwat, bisa pula tidak ada aktivitas baku-syahwat!

Mungkin mereka bingung: “Kalau mau didefinisikan bahwa pacaran adalah proses awal untuk saling mengenal sebelum menuju pernikahan, juga nggak sepenuhnya benar. ... Nggak semua orang, pacaran diniatin menikah, kan?” (KHP: 113) “Ketidakjelasan definisi pacaran juga terlihat pada ketidakjelasan batasannya. Apakah dua orang yang saling suka dan mengungkapkannya sudah bisa disebut pacaran, atau bahkan yang lebih dari itu masih juga disebut pacaran?” (KHP: 114)

Untuk menjawabnya, mari kita merujuk ke definisi yang dibakukan di buku KBBI, kamus resmi bahasa kita. Buku PIA mengungkap: “Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, 2002: 807), pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih. Berpacaran adalah bercintaan; [atau] berkasih-kasihan [dengan sang pacar]. Memacari adalah mengencani; [atau] menjadikan dia sebagai pacar.” (PIA: 19) “Sementara kencan sendiri menurut kamus tersebut (lihat halaman 542) adalah berjanji untuk saling bertemu di suatu tempat dengan waktu yang telah ditetapkan bersama.” (PIA: 20)

Jika definisi-definisi baku tersebut kita satukan, maka rumusannya bisa terbaca dengan sangat jelas sebagai berikut: Pacaran adalah bercintaan atau berkasih-kasihan (antara lain dengan saling bertemu di suatu tempat pada waktu yang telah ditetapkan bersama) dengan kekasih atau teman lain-jenis yang tetap (yang hubungannya berdasarkan cinta-kasih). Singkatnya, pacaran adalah bercintaan dengan kekasih-tetap.

Dengan demikian, pacaran yang aktivitasnya “lebih dari” bercintaan, misalnya ditambahi aktivitas baku-syahwat, itu pun masih dapat disebut ‘pacaran’ (tetapi bukan ‘pacaran islami’)! Sedangkan, pada dua orang yang baru saling mengungkapkan cinta telah ada aktivitas bercintaan, tetapi belum ada hubungan yang ‘tetap’, sehingga belum tergolong pacaran.

Hubungan yang ‘tetap’ itu dapat tercipta dengan ikatan janji atau komitmen untuk menjalin kebersamaan berdasarkan cinta-kasih. Kebersamaan yang disepakati itu bisa berujud apa saja. Dengan demikian, yang tidak diniatkan untuk nikah masih bisa dinyatakan pacaran. Bahkan, ‘hidup bersama tanpa nikah’ pun bisa disebut ‘pacaran’ (tetapi bukan ‘pacaran islami’)!

Ikatan Pacaran Cukup Jelas
Dengan menganggap bahwa “cinta tidak abadi” dan “definisinya tidak jelas”, penghujat-penghujat itu pun berpikiran, “ikatan dalam pacaran tidak jelas.” Mereka mendakwa: “Pacaran hanyalah sebuah ekspresi sesaat bagi orang-orang yang mengaku saling jatuh cinta.” (KHP: 146) “Kata pacar sendiri,” kata mereka, “berasal dari nama sejenis tanaman hias yang cepat layu dan mudah disemaikan kembali. Tanaman ini tidak bernilai ekonomis (murahan) sehingga tidak diperjualbelikan. Hal ini sebagai simbol bahwa pacaran adalah perilaku yang tidak bernilai. Jika suatu waktu [tidak] puas dengan pacarnya, maka dia akan mudah beralih kepada pacarnya yang baru.” (PIA: 19) Mereka menambahkan: “Analogi pacar air menunjukkan —pacar air yang jadi pemerah kuku— apabila telah usang dan pudar warnanya, maka akan diganti dengan pacar yang baru. ... Kalau masih merah dan menyenangkan, dipakai. Kalau sudah pudar dan menyebalkan atau bahkan mengotori, diganti.” (KHP: 143)

Akan tetapi, analogi mereka tersebut saya pandang sesat-pikir lantaran ‘tidak relevan’. Seharusnya, fakta yang menjadi dasar analogi itu memiliki persamaan yang asasi dengan kenyataan yang dianalogikan. Jika tidak, analogi itu akan “menghasilkan kesimpulan yang salah.” (JSP: 21) Pada analogi ‘pacar air’ tadi, mungkin mereka belum memperhatikan bahwa salah satu sifat asasi pacaran ialah adanya hubungan yang tetap.

Bolehjadi, tidak sedikit orang yang katanya pacaran tapi sering putus-sambung karena “ngerasa bahwa ikatan itu belum paten.” (JNC: 170) Lantas penghujat-penghujat mendakwa, “Ikatan yang nggak jelas itulah yang akhirnya menimbulkan keengganan bertanggung jawab. Betul, nggak?” (KHP: 117) Nggak. “Bayangin,” sindir mereka, “kalau kita cuma jadi pacar. Kita dijadikan pacar oleh orang lain, terus abis gitu —karena [hanya] pacaran, kan sah-sah saja kalau putus-sambung tho?” (KHP: 147) “Bukankah pacaran akhirnya ... menjadikan seseorang seperti piala bergilir. Iya, kan?” (KHP: 148) Tidak.

Kita tidak boleh memperlakukan teman-teman lain-jenis sebagai ‘piala bergilir’. Orang yang pacaran dengan maksud “putus-sambung”, maka pacarannya ‘tidak sah’. Sebab, sekali lagi kami ingatkan, pada pacaran harus ada kekasih yang tetap.

Terus, “kalau seseorang yang semula ‘berniat’ cuma pacaran, kemudian ternyata ... si cewek pregnant by accident [hamil lantaran ‘kecelakaan’], gimana? Apa bisa disalahkan si cowoknya? Kan, niatnya pacaran? Bisa saja kan, si cowok merasa nggak masalah karena sampai seperti itu masih mereka anggap ‘pacaran’?” (KHP: 116) Tidak bisa!

Si cowok harus bertanggung jawab atas ‘kecelakaan’ itu. Jika Anda kira si cowok tidak dapat disalahkan “karena sampai seperti itu masih mereka anggap ‘pacaran’,” maka Anda sesat-pikir lantaran ‘lempar batu sembunyi tangan’ dengan ‘berlindung pada prinsip umum’. (Lihat JSP: 3-4.)

Menurut prinsip umum, seperti yang disebut di pasal “Definisi” di atas, mereka yang memakai ‘bumbu’ berupa zina itu masih dapat disebut ‘pacaran’. Namun, walau pacaran in itself tidak salah, zina itu perbuatan yang salah! Kita dapat membandingkannya dengan aktivitas perdagangan, misalnya. Walau dilakukan dengan curang, kegiatan itu masih bisa disebut dagang. Tetapi, meski perdagangan itu sendiri pada dasarnya tidak zalim, curang itu perbuatan yang zalim! Jadi, jika Anda kira si pedagang yang curang tidak bersalah karena kendati curang ia masih tergolong berdagang, maka Anda sesat-pikir.

Mungkin mereka pikir, “Pacaran hanyalah aktivitas penuh apologi (alasan) dan ikatan tanpa konsekuensi yang jelas.” (KHP: 128) “Ikatan pacaran tuh,” kata mereka, “sama sekali nggak jelas, baik dari sisi syar’i maupun ikatan sosial dan hukum.” (KHP: 115) Benarkah?

Dipandang dari sisi hukum, komitmen pranikah itu saya lihat ikatannya cukup jelas. Ada undang-undang tertulis yang menetapkan konsekuensi bagi orang yang melanggar janji, menipu, dll. Melanggar janji kesetiaan atau pun menipu pacar tidaklah bebas dari tuntutan hukum. Pihak yang merasa dirugikan berhak memperkarakan.

Dari sisi sosial, saya lihat ikatan pranikah itu cukup jelas juga, meski tidak sejelas pernikahan. Ada norma sosial tak tertulis yang mengatur ‘hak dan kewajiban untuk setia’ bagi orang yang pacaran. Yang tetap setia kepada pacar memperoleh penghargaan sosial, sedangkan yang mengkhianati komitmen ini mendapat sanksi sosial.

Bagaimana dari sisi syar’i? Ada yang mengatakan, “ikatan yang legal dalam pandangan Islam itu hanya ada dua, yakni khitbah (pinangan) dan nikah.” (JNC: 150) Namun, dalam pengamatan saya, setiap perjanjian mengandung ikatan yang sah dan jelas. “Sungguh, setiap janji itu akan diminta pertanggungjawaban.” (al-Israa’ [17]: 34) (Lihat QTT1: 238 dan 704.) Ada ancaman berat, “Barangsiapa melanggar janjinya, maka akibat pelanggarannya akan menimpa dirinya sendiri,” sedangkan kepada orang yang menepati janji, Allah memberi “pahala yang besar” (al-Fath [48]: 10).

Mungkin, jelasnya ikatan pacaran itu dipandang belum memadai. Ada yang mendakwa: “Komitmen untuk ‘tetap setia’ dijamin nggak berlaku bagi orang yang pacaran.” (KHP: 117) “Bagaimana mungkin bisa yakin bahwa seseorang yang selama ini jalan bareng memiliki komitmen untuk tetap setia, lha wong yang terjadi dari waktu ke waktu hanya sebatas saling curhat dan saling take and give yang nggak jelas juntrungnya?” (KHP: 127-128) Bukan begitu!

Komitmen kesetiaan pacar kita itu bisa kita pegang. Mengapa? Karena kita bisa yakin dia beriman kepada Al-Qur’an, menghargai norma sosial, taat hukum, dan berwatak dapat-dipercaya. Lagipula, pacaran kita jelas juntrungnya, tidak hanya sebatas saling curhat. (Untuk contoh pacaran yang jelas juntrungnya, lihat NAI dan BPI.)

Lantas, kalau pun ikatannya jelas, untuk apa pacaran? Bukankah itu “cuma bikin kita terbelenggu pada sebuah ikatan-ikatan semu yang membuat kita tidak merdeka”? (KHP: 117) Bukan begitu.

Di dalam ‘ikatan’ dengan lawan-jenis, menurut Deborah Tannen, terkandung ‘kompensasi’ yang berharga berupa ‘keakraban’ yang ujung-ujungnya berimbas pada ‘rasa aman’ pula. (Lihat RPWP: 25-55.) Jadi, jika Anda lebih membutuhkan kebebasan daripada keakraban, boleh-boleh saja Anda tidak pacaran. Tapi, orang yang pacaran karena lebih memerlukan keakraban daripada kebebasan janganlah Anda cela!

Pacaran Itu Sunnah yang Direstui Nabi
Bolehjadi, di antara sekian banyak argumen, yang paling diandalkan untuk menghujat ‘pacaran islami’ adalah sebagai berikut: “Islam sama sekali tidak mengenal pacaran.” (PIA: 41) “Pacaran bukan dari Islam, melainkan budaya jahiliyah yang harus ditinggalkan oleh segenap remaja muda Islam.” (PIA: 22) “Mestinya kita juga nggak meniru orang-orang jahiliyah dan budaya jahiliyah modern.” (KHP: 171)

Benarkah pacaran adalah budaya jahiliyah modern (dari Barat)? Mari kita periksa.

Di Bab 1, kita telah menyimak sindiran Rasulullah saw.: “Tidak adakah di antara kalian orang yang penyayang?” (HR ath-Thabrani) Mungkin Anda masih bertanya-tanya: Tidakkah yang dimarahi beliau dengan sindiran tajam itu hanya tindakan ‘menghukum mati tawanan’, bukan perilaku ‘melecehkan aktivitas pacaran’? Untuk memastikannya, mari kita perhatikan asbabul wurud-nya, yaitu latar belakang atau penyebab diucapkannya sabda Rasul tersebut. Kebetulan, hadits selengkapnya telah mencantumkannya.

Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: Nabi saw. mengirim satu pasukan [shahabat], lalu mereka memperoleh rampasan perang yang di antaranya terdapat seorang tawanan laki-laki. [Sewaktu interogasi], ia berkata, “Aku bukanlah bagian dari golongan mereka [yang memusuhi Nabi]. Aku hanya jatuh cinta kepada seorang perempuan, lalu aku mengikutinya. Maka biarlah aku memandang dia [dan bertemu dengannya], kemudian lakukanlah kepadaku apa yang kalian inginkan.” Lalu ia dipertemukan dengan seorang wanita [Hubaisy] yang tinggi berkulit coklat, lantas ia bersyair kepadanya, “Wahai dara Hubaisy! Terimalah daku selagi hayat dikandung badanmu! Sudilah dikau kuikuti dan kutemui di suatu rumah mungil atau di lembah sempit antara dua gunung! Tidak benarkah orang yang dilanda asmara berjalan-jalan di kala senja, malam buta, dan siang bolong?” Perempuan itu menjawab, “Baiklah, kutebus dirimu.” Namun, mereka [para shahabat itu] membawa pria itu dan menebas lehernya. Lalu datanglah wanita itu, lantas ia jatuh di atasnya, dan menarik nafas sekali atau dua kali, kemudian meninggal dunia. Setelah mereka bertemu Rasulullah saw., mereka informasikan hal itu [dengan antusias] kepada beliau, tetapi Rasulullah saw. berkata [dengan sindiran tajam]: “Tidak adakah di antara kalian orang yang penyayang?” (HR ath-Thabrani dalam Majma’ az-Zawâid 6: 209)

Kita perhatikan, tema utama informasi yang disampaikan oleh para shahabat kepada Rasulullah sehingga beliau bersabda begitu adalah kisah hubungan asmara di luar nikah. Saat itu barangkali mereka kira, perilaku pacaran itu kemunkaran besar yang harus dicegah dengan ‘tangan’ (kekuatan) bila mampu, sedangkan kemampuan ini ada pada mereka selaku pemenang pertempuran. Mereka menghukum mati si lelaki, dan mungkin menyangkanya sebagai perbuatan baik demi mencegah kemunkaran besar. Namun, Rasulullah justru marah.

Sebaliknya, kata Abu Syuqqah, “beliau menampakkan belas kasihnya kepada kedua orang yang sedang dilanda cinta itu” dan menyalahkan perbuatan shahabat. (KW5: 75) Ini menyiratkan, seharusnya si tawanan dibebaskan walau akibatnya kemudian ia melakukan pacaran dengan si dia. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa pacaran (bercintaan dengan kekasih-tetap) merupakan sunnah taqriri, kebiasaan yang direstui Nabi saw..

Sampai di sini mungkin Anda masih penasaran: Manakah istilah ‘pacaran’ dalam hadits tersebut? Jawaban kita: Penyebutannya tidak langsung tersurat, tetapi tersirat.

Untuk sampai ke pengertian itu, kita mengacu pada unsur-unsur ‘pacaran’ yang baku: bercintaan dengan kekasih-tetap. Adakah aktivitas bercintaan di dalamnya? Ada. Ini ditunjukkan oleh ungkapan “Wahai dara Hubaisy, terimalah daku selagi hayat dikandung badanmu!” dan “Baiklah...” Tampaknya, rasa cinta antara keduanya itu begitu mendalam. Sampai-sampai, si pria mempertaruhkan nyawa untuk dapat bertemu dengan kekasihnya, sedangkan si wanita sampai jatuh dan meninggal dunia di atas jasad kekasihnya. Ini menunjukkan, aktivitas bercintaan itu terjadi antara sepasang kekasih yang tetap, bukan sekadar teman sesaat. Dengan demikian, unsur-unsur ‘pacaran’ yang baku sudah terkandung di dalam hadits tersebut. Jadi, tidaklah mustahil ada ‘pacaran’ (bercintaan dengan kekasih-tetap) yang islami!

Bagaimana dengan ‘kencan’? Aktivitas yang tidak harus ada (walau sering terdapat dalam pacaran) ini tampaknya terkandung pula di dalam hadits ath-Thabrani tadi. Kita melihat, ada janji untuk “saling bertemu di suatu tempat dengan waktu yang telah ditetapkan bersama”. Jadi, hadits tersebut juga mengisyaratkan bahwa ‘kencan’ (saling bertemu di tempat dan waktu yang disepakati) antar lawan-jenis di luar nikah merupakan sunnah taqriri, kebiasaan yang direstui Nabi saw..

Bagaimana bila sesudah kita kemukakan hadits yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah menghalalkan ‘pacaran’ (bercintaan dengan kekasih-tetap), penghujat-penghujat ‘pacaran islami’ masih berpegang pada fatwa bahwa “pacaran selalu haram” dan “tidak ada pacaran dalam Islam”? Padahal mereka tidak mengemukakan nash yang mengharamkannya? Dalam keadaan begitu, mungkin sebaiknya kita sampaikan ayat: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak [pula] bagi perempuan yang beriman, bila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan [hukum], akan ada bagi mereka pilihan [hukum lain] tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguh ia sesat, sesat yang nyata.” (al-Ahzaab [33]: 36)

sumber: geocities

Melecehkan Pacaran

Sebagian penghujat berusaha mendorong kita untuk menertawakan pacaran. Kata mereka, “kalian mesti simak alasan ringan, tapi masuk akal —yang insya Allah bikin kita menertawakan aktivitas ini.” (KHP: 98) Alasan ringan yang dimaksud itu antara lain: “Pacaran: nggak jelas definisinya”, “nggak jelas ikatannya”, “kuno!”, dan bahwa “ternyata cinta tuh nggak abadi.” (KHP: 6) Memadaikah alasan-alasan ringan itu? Nanti, di Bab 2, saya nyatakan bahwa pacaran itu jelas definisi dan ikatannya, dan cinta itu bukan mustahil abadi. Adapun bahwa pacaran itu tidak kuno, Bab 4 lah tempatnya.

Di samping alasan-alasan ringan itu, menurut mereka, ada dua alasan lain kenapa kita dianjurkan untuk menertawakan pacaran. [1] Mereka mendakwa, “bohong kalau aktivitas yang dimaklumi dan dilegalkan oleh masyarakat ini nggak mengandung risiko.” (KHP: 121-122) [2] “Aktivis masjid, Rohis, LDK,” kata mereka, “banyak yang nyuri-nyuri kesempatan pakai begaya berpacaran ‘Islami’ segala. Jadi getol ke masjid, ikut kajian ternyata lagi mantengin sang Idol Boy atawa Idol Girl. Hhhh... payah, deh! Kalau aktivisnya ajaa masih kayak begini. Ketawain, yuk!” (KHP: 108) Memadaikah dua alasan berat tersebut? Nanti, di Bab 3 dan 4, saya berusaha menjelaskan bahwa pacaran islami memang mengandung risiko, tetapi masih dalam batas-batas yang dapat dibenarkan syari’at.

Untuk sekarang, mari kita periksa beberapa hadits yang relevan dengan persoalan islami-tidaknya sikap dan perilaku menertawakan pacaran:

Dari Abu Umamah, ia mengatakan, telah datang seorang pemuda menghadap Rasul seraya berkata, “Wahai Rasulullah, izinkanlah aku berzina!” Orang-orang yang ada di sekitarnya menghampiri dan memaki, “Celaka engkau, celaka engkau!” Akan tetapi, Rasulullah mendekati pemuda itu dan duduk di sampingnya. Kemudian terjadilah dialog. Rasul bertanya: “Apakah engkau ingin [zina] itu terjadi pada ibumu, saudara perempuanmu, saudara perempuan bapakmu, dan saudara perempuan ibumu?” Si pemuda menjawab: “Sekali-kali tidak. Demi Allah yang menjadikan saya sebagai tebusan Tuan.” Rasul berkata: “Begitu pula orang lain, tidak ingin hal itu terjadi pada ibu mereka, saudara perempuan mereka, saudara perempuan bapak mereka, dan saudara perempuan ibu mereka.” Kemudian Rasulullah memegang dada pemuda itu seraya berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya!” (HR Ahmad) Di hadits ini saya lihat, beliau tidak menertawakan atau pun merendahkan si pemuda, tetapi berusaha “menggerakkan jiwa obyeknya secara tidak langsung” (MKI: 24).

Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ada seorang lelaki mencium seorang perempuan (mungkin ‘pacar’-nya), lalu dia datang kepada Nabi saw, dan diberitakannya halnya kepada Nabi. Kemudian itu diturunkan oleh Allah ayat yang maksudnya: “Kerjakanlah shalat pada kedua tepi siang dan sebentar dari malam hari. Sesungguhnya kebaikan [seperti shalat] menghilangkan keburukan [seperti ciuman].” {Hud [11]: 114} Lelaki itu bertanya: “Ya Rasulullah! Apakah [fatwa] ini buat saya saja?” Jawab Nabi saw: “[Fatwa ini berlaku] bagi semua umatku.” (HR Bukhari) Di sini saya mendapati, walau ciuman itu sangat ‘mendekati zina’, beliau tidak mencela pelakunya. Beliau lebih condong memberi tahu “solusinya”. (MCMD: 77)

Nah! Menghadapi permohonan untuk berzina dan laporan perbuatan yang ‘mendekati zina’ seperti itu, tampaknya Rasulullah bersikap sangat lembut. Lantas, mungkinkah beliau bersikap keras terhadap orang-orang yang memelihara rasa cinta pra-nikah dan ingin pacaran tanpa kehendak untuk mendekati zina? Mari kita lakukan pemeriksaan lagi.

Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, dikisahkan seorang shahabat Rasul sedang ‘tergila-gila’. Mughits namanya. Ia berjalan gontai di belakang Barirah sambil menangis sehingga air matanya mengalir sampai ke jenggotnya. Melihat fenomena asmara di luar nikah ini yang berada di depan mata beliau, saya perhatikan bahwa beliau tidak memarahi atau pun memandang rendah dia. Beliau agaknya menampakkan simpati dengan bersabda: “Tidakkah kau takjub melihat betapa cintanya Mughits kepada Barirah?” (HR Bukhari; lihat MCMD: 190.)

Sikap senada tampaknya tercermin pula dalam sebuah hadits riwayat ath-Thabrani. Di situ diceritakan, seorang gadis Hubaisy menerima ajakan seorang tawanan pria untuk ‘pacaran’. Karenanya, ia bersedia menebusnya. Namun, shahabat-shahabat yang menawan dia justru menghukum mati dengan memenggal kepalanya dan kemudian melaporkan kejadian ini dengan antusias. Namun, kepada mereka, Rasulullah agaknya memperlihatkan kemarahan dengan melontarkan sindiran tajam: “Tidak adakah di antara kalian orang yang penyayang?” (Hadits selengkapnya beserta penjelasan lebih lanjut akan saya kemukakan di Bab 2.) Hadits ini mengisyaratkan, Rasulullah mungkin marah kepada orang-orang yang melecehkan pacaran.

Demi kehati-hatian, supaya tidak ‘mengundang’ kemarahan beliau, alangkah baiknya bila kita tidak menertawakan pacaran. Menurut Yusuf Ali, kita boleh tertawa untuk berbagi kesenangan hidup dengan orang lain, tetapi “jangan menertawakan orang untuk menghina atau mengejek.” (QTT3: 1331). Allah berpesan: “Jangan ada suatu golongan memperolok golongan lain. Bolehjadi, yang satu [yang diperolok] lebih baik daripada yang lain [yang memperolok]. Juga jangan ada perempuan menertawakan perempuan lain. Bolehjadi, yang seorang [yang ditertawakan] lebih baik daripada yang lain [yang menertawakan]. ”(al-Hujuraat [49]: 11) “Allah memperingatkan kamu, jangan sekali-kali kamu mengulang lagi [sikap dan perilaku] demikian, kalau kamu memang orang yang beriman.” (an-Nuur [24]: 17) “Barangsiapa tidak bertaubat, orang itulah yang zalim.” (al-Hujuraat [49]: 11)

Demi kehati-hatian pula, alangkah eloknya kalau kita tidak ‘meninggikan suara’ melebihi Nabi. (Lihat al-Hujuraat [49]: 2.) Jika Rasulullah berlemah-lembut dan bersimpati kepada orang yang menjalin hubungan ‘pacaran’ dan memelihara rasa cinta pra-nikah, maka pantaskah kita bersikap keras dan antipati kepada mereka? Allah mengingatkan, “Sungguh dalam diri Rasulullah kamu mendapatkan teladan yang baik.” (al-Ahzaab [33]: 21) Pesan beliau, “Barangsiapa membenci sunnahku, maka bukanlah ia dari golonganku.” (HR Bukhari dan Muslim)

sumber: geocities

Prasangka Zina

Siapa yang berkata dusta, kita tidak selalu tahu. Buktinya sebagai berikut.

Tidak jarang, kita terdorong untuk menelan bulat-bulat berita yang dibawa oleh orang yang berasal dari golongan kita sendiri. Lebih-lebih bila informasi itu, misalnya tentang ‘tidak perawannya 97,05% cewek Yogya’, muncul dari seorang da’i yang menekuni tasauf, suatu dunia yang ‘suci’. (Lihat JNC: 48 dan DCAHA: 91-92.) Tapi, Allah mengingatkan: “Mereka yang membawa berita bohong itu dari golongan kamu juga.” (an-Nuur [24]: 11)

Kendati pembawa berita bohong itu berniat baik, umpamanya untuk “penambahan data-data sesuai dengan perkembangan yang ada,” (PDKI: xi) atau pun untuk “mendorong orang agar mau mengikuti syari’at”, kita sebaiknya tidak menerimanya. (Lihat MINAP: 298.) Alasan kita, “Janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kepalsuan dan janganlah kamu menyembunyikan kebenaran sedangkan kamu mengetahui.” (al-Baqarah [2]: 42) Lagipula, semua perbuatan baik yang hendak dianjurkan dengan menggunakan berita bohong (atau pun hadits palsu) itu sesungguhnya bisa dipenuhi dengan kabar-kabar yang benar (dan hadits-hadits shahih dan hasan). (Lihat BMHN: 31.)

Di samping itu, risiko dosa lantaran penyebaran berita bohong itu sangat besar. Allah berfirman, “Setiap orang dari mereka akan mendapat hukuman atas dosa yang dilakukannya itu, dan orang yang memegang pimpinan di antara mereka, akan mendapat azab yang besar.” (an-Nuur [24]: 11) “Mereka yang senang bahwa perbuatan [fitnah] keji itu tersebar luas di antara orang-orang beriman, mereka akan mengalami azab yang keras di dunia dan di akhirat.” (an-Nuur [24]: 19)

Bolehjadi, para penyebar dakwaan zina itu tidak menantang azab dan tidak senang menyebarkan fitnah. Mereka hanya bermaksud mencegah kemungkaran. Ada yang berusaha mengetengahkan “fenomena yang mengerikan” dan berupaya mencegah “akibat yang lebih parah lagi” (PIA: 6). Ada yang bilang “supaya cinta kita nggak rusak dan nggak ternoda” (JNC: ix). Ada yang tidak mau terima kalau-kalau “kita telah menggerogoti ajaran Islam” (PDKI: vi). Ada yang hendak “mematahkan ‘legitimasi’ aktivitas baku syahwat” (KHP: 18).

Tentu saja, pencegahan kemungkaran merupakan langkah yang sangat terpuji. Dalam Al-Qur’an, surat Ali ‘Imran ayat 110, ‘amar makruf nahi munkar’ disebut lebih dahulu daripada ‘iman kepada Allah’. Ini mengindikasikan betapa berharganya kegiatan ini dalam pandangan Allah. (KSB: 114) Tak mengherankan, Allah menyarankan: “Hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat makruf dan melarang perbuatan mungkar. Mereka itulah orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran [3]: 104) Namun, keburuntungan mereka ini bisa menyusut. Jika mereka menyebarkan dakwaan zina tanpa bukti yang sah menurut syariat, maka pendakwaan itu mungkin merupakan suatu kemungkaran juga.

Rupanya, terhadap sang narasumber, mereka berprasangka ‘baik’. Tapi, terhadap si ‘terdakwa’, mereka berprasangka buruk. Padahal, Allah telah menyampaikan sindiran: “Kenapa ketika mendengar [prasangka zina] itu, kaum mukminin pria dan wanita tidak berprasangka baik dan berkata, ‘[Dakwaan] ini adalah dusta yang nyata’?” (an-Nuur [24]: 12)

Jika kita tidak berprasangka baik kepada ‘terdakwa’ itu, tetapi malah menyebarkan dakwaan tersebut, bisa-bisa kita tergolong menggunjing. Padahal, Allah mengingatkan: “Janganlah kamu menggunjing.” (al-Hujuraat [49]: 12) “Ingatlah ketika kamu menerima [berita prasangka zina] itu dari lidah ke lidah dan kamu katakan dengan mulut kamu apa yang tidak kamu ketahui. Kamu menganggap [penyebaran prasangka zina] itu soal remeh [yang tidak menimbulkan dosa], padahal dalam pandangan Allah itu soal besar [yang mendatangkan azab]. Dan kenapa ketika kamu mendengarnya tidak kamu katakan, ‘Tidak layak kita menggunjingkan soal ini. Mahasuci Engkau [ya Allah]! Ini adalah fitnah yang besar!’?” (an-Nuur [24]: 15-16)

Untuk menghentikan fitnah besar itu beredar lebih jauh, cara terbaiknya barangkali membela ‘terdakwa’. Sekurang-kurangnya, sebaiknyalah kita mengabaikannya dan tidak turut menyebarkannya. Seruan “Mahasuci Engkau, ya Allah!”, menurut Yusuf Ali, adalah pernyataan terkejut dan tidak setuju sama sekali. Seolah-olah dikatakan, “Kami tidak mempercayainya! Dan jangan sekali-kali melibatkan kami dalam penyebaran fitnah!” (Lihat QTT2: 888.)

Ada satu alasan lain mengapa sebaiknya kita memerangi fitnah besar tersebut. Yaitu karena kita didorong oleh Allah untuk membenci kefasiqan (al-Hujuraat [49]: 7), termasuk yang berupa prasangka zina. Menyebarkan prasangka ini bagaikan memakan bangkai saudara kita sendiri. Amat menjijikkan! “Adakah di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tidak! Kamu akan merasa jijik.” (al-Hujuraat [49]: 12) Dalam pandangan Yusuf Ali, orang yang berakal sehat takkan mau makan sesuatu yang menjijikkan, apalagi yang menjijikkan sekali seperti itu. Karenanya, kita diminta untuk tidak mengemukakan prasangka yang bisa melukai perasaan orang lain yang hadir bersama kita, “apalagi untuk mengatakan sesuatu [yang mencemarkan dia] di belakangnya, benar atau [pun] tidak.” (QTT3: 1331)

sumber: geocities

Menuduh Zina

Kiranya, wajarlah dugaan Fauzil Adhim bahwa si ‘peneliti’ beserta penyebar laporannya itu mungkin menghina kaum muslimin. Mengapa? Karena secara tersirat ada dakwaan bahwa hampir semua cewek Yogya (yang sebagian besar muslimah) telah berzina. Sedangkan zina adalah perbuatan keji yang menodai kesucian pelakunya. (Lihat al-Israa’ [17]: 32.)

Pertanyaan kita: Manakah saksi-saksi yang melihat perbuatan zina yang dituduhkan itu? Untuk setiap kejadian zina yang didakwakan itu, “mengapa mereka tidak mendatangkan empat orang saksi?” (an-Nuur [24]: 13) Mengapa, hanya berdasarkan pengakuan 97,05% dari 1.660 responden, mereka mendakwa bahwa hampir semua cewek Yogya (yang saat ini berjumlah ratusan ribu orang) telah berzina? Padahal, bila mereka tak dapat menghadirkan empat orang saksi untuk setiap kejadian zina yang dituduhkan itu, “dalam pandangan Allah, mereka itulah pembohong!” (an-Nuur [24]: 13)

Terhadap para pembohong yang melontarkan dan menyebarkan fitnah seperti itu, tampaknya Allah sangat murka! Sampai-sampai Dia berfirman: “Mereka yang memfitnah perempuan baik-baik, yang tidak tahu-menahu tapi beriman, mereka dilaknat di dunia dan akhirat. Mereka mendapat azab yang berat.” (an-Nuur [24]: 23) “Mereka yang melemparkan tuduhan [zina] terhadap perempuan baik-baik, dan tak dapat mendatangkan empat orang saksi, deralah dengan delapan puluh kali pukulan.” (an-Nuur [24]: 4)

Dengan demikian, jika ada sesuatu yang sifatnya bisa mencemarkan kesucian seorang perempuan (atau, lebih-lebih, banyak perempuan; misalnya: kaum muslimah Yogyakarta), maka ini harus didukung oleh saksi dengan dua kali kekuatan kasus-kasus pembunuhan biasa. Yakni diperlukan empat orang saksi, bukan dua orang. Ini tidak aneh. Mengapa? Karena fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan! (Lihat al-Baqarah [2]: 191 dan 217.)

Yusuf Ali menerangkan, “Gagal memberikan kesaksian demikian yang merupakan faktor utama itu, maka si pemfitnah sendiri harus diperlakukan sebagai orang jahat dan harus mendapat hukuman dengan delapan puluh kali pukulan.” (QTT2: 885) Dibandingkan dengan pelaku zina yang diancam dengan seratus kali pukulan (lihat an-Nuur [24]: 2), dosa penuduh zina yang tidak menghadirkan empat saksi itu bisa sebesar 80% dari dosa zina itu sendiri. Dosa ini cukup besar dan tak bisa dipandang remeh, bukan?

Bila orang-orang itu belum bertaubat dan belum menerima hukuman ini (dengan ikhlas) di dunia, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa pukulan tersebut akan ia dapati kelak di akhirat. “Biarlah [sekarang] mereka tertawa sedikit, tetapi [kelak] mereka menangis yang banyak sebagai balasan atas perbuatan mereka.” (at-Taubah [9]: 82) Apa yang mereka perbuat sehingga kelak mereka menangis yang banyak? “Mereka mencela sebagian dari orang-orang yang beriman ... dan mereka menghina orang-orang itu, tetapi Allah akan membalas hinaan mereka, dan bagi mereka azab yang keras.” (at-Taubah [9]: 79)

Azab yang keras? Barangkali kita merasa kasihan kepada orang-orang itu. Bagaimana kalau kita mohonkan ampunan agar mereka terhindar dari azab Allah tersebut? Jawaban Allah: “Engkau memohonkan ampunan —sampai tujuh puluh kali sekalipun— atau pun tidak memohonkan ampunan, Allah tidak akan mengampuni mereka, sebab [dengan perbuatan mereka tersebut berarti bahwa] mereka mengingkari Allah dan rasul-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum fasiqin itu.” (at-Taubah [9]: 80)

Murka Allah ini agaknya mirip dengan yang ditimpakan kepada kaum munafiqin. (Lihat al-Munaafiquun [63]: 6.) Ini mungkin karena orang-orang munafiq pun tergolong fasiq. (Lihat at-Taubah [9]: 67.) Mereka sama-sama berkata dusta.

Bahwa salah satu ciri orang munafiq itu berkata dusta, kita dapat langsung mengetahuinya dari Al-Qur’an, al-Baqarah [2]: 8-10 dan an-Nuur [24]: 47. Adapun dustanya kata-kata para pendakwa itu bolehjadi lantaran dasar pijakan mereka bukan fakta, melainkan prasangka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya prasangka itu sebohong-bohong perkataan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Kepada kita, Allah swt. berpesan, “Hai orang-orang beriman! Jauhilah prasangka sebanyak mungkin, karena sebagian prasangka adalah dosa.” (al-Hujuraat [49]: 12) Kebanyakan prasangka itu tanpa dasar yang kuat dan akan menyebabkan dosa. Mengapa dosa? Karena, kata Yusuf Ali, prasangka buruk itu “sungguh kejam menimpa laki-laki dan perempuan yang tak bersalah.” (QTT3: 1331)

Oleh sebab itu, kita perlu mengingatkan “orang yang suka melancarkan fitnah atau yang dapat menimbulkan kesan fitnah terhadap kaum perempuan [dan laki-laki] tanpa disertai bukti sebagaimana mestinya.” (QTT2: 885) Umpamanya, ada yang bilang, “sepanjang sejarah nggak ada yang namanya aktivitas pacaran nggak kelewat batas.” (KHP: 127) Konon, pacaran adalah “upaya menyalakan tungku birahi. ... dan jadilah dia [pelakunya] pelacur.” (PIA: 34-35) Katanya, itu karena “pada hakekatnya hubungan intim [seks] merupakan tujuan yang hendak direngkuh dalam berpacaran.” (PDKI: 36) Konon pula, pacaran itu pada hakekatnya “memiliki maksud yang terselubung yaitu memperkenalkan pola hidup free sex.” (PIA: 40)

Pertanyaan kita: Sejarah manakah yang mencatat bahwa pacaran itu selalu identik dengan zina dan pelacuran? Riset manakah yang mengungkap bahwa pacaran itu senantiasa bertujuan merengkuh hubungan free sex?

Barangkali tanggapan mereka: “Memang argumen [tadi] ... banyak yang menyangkal. Tidak semua mereka yang berpacaran melakukan hal serupa. Namun tak satu pun dari penyangkal-penyangkal itu yang mampu membuktikan kebenaran ucapan mereka.” (PDKI: 56) Selain itu, “kalau mau jujur, nggak ada alasan yang bisa menguatkan bahwa pacaran itu bebas [dari] zina!” (KHP: 202)

Namun, dalam pandangan saya, tanggapan tersebut sesat-pikir lantaran ‘kekurangtahuan’. Kesesatan ini terjadi ketika mereka memandang benar suatu pernyataan semata-mata karena belum mendapati bukti kekeliruannya atau menganggap salah suatu pernyataan karena belum mendapati bukti kebenarannya. (Lihat JSP: 14.) Dengan kata lain, walau hingga sekarang mereka belum mengetahui hujjah yang menunjukkan kekeliruan dakwaan mereka dan hujjah yang mengungkap kebenaran pernyataan kita, itu bukan berarti bahwa mereka berada di pihak yang benar atau pun bahwa kita bersalah.

Nanti, di Bab 2 dan 3, kita kemukakan bukti-bukti bahwa pacaran itu bisa bebas dari zina dan tidak selalu mendekati zina. Moga-moga, dengan begitu, terlepaslah mereka dan kita dari kesesatan lantaran kekurangtahuan dalam hal ini. (Aamiin.) Akan tetapi, andai dengan hujjah-hujjah itu mereka masih menganggap kita tidak jujur, dan mereka tetap berprasangka bahwa setiap orang Islam yang pacaran pasti melakukan zina, bagaimana? Jawaban kita: Jika dakwaan mereka tidak diperkuat dengan empat orang saksi untuk setiap kejadian zina yang dituduhkan, maka “dalam pandangan Allah, mereka itulah pembohong!” (an-Nuur [24]: 13)

sumber: geocities