Jumat, 02 November 2007

Melecehkan Pacaran

Sebagian penghujat berusaha mendorong kita untuk menertawakan pacaran. Kata mereka, “kalian mesti simak alasan ringan, tapi masuk akal —yang insya Allah bikin kita menertawakan aktivitas ini.” (KHP: 98) Alasan ringan yang dimaksud itu antara lain: “Pacaran: nggak jelas definisinya”, “nggak jelas ikatannya”, “kuno!”, dan bahwa “ternyata cinta tuh nggak abadi.” (KHP: 6) Memadaikah alasan-alasan ringan itu? Nanti, di Bab 2, saya nyatakan bahwa pacaran itu jelas definisi dan ikatannya, dan cinta itu bukan mustahil abadi. Adapun bahwa pacaran itu tidak kuno, Bab 4 lah tempatnya.

Di samping alasan-alasan ringan itu, menurut mereka, ada dua alasan lain kenapa kita dianjurkan untuk menertawakan pacaran. [1] Mereka mendakwa, “bohong kalau aktivitas yang dimaklumi dan dilegalkan oleh masyarakat ini nggak mengandung risiko.” (KHP: 121-122) [2] “Aktivis masjid, Rohis, LDK,” kata mereka, “banyak yang nyuri-nyuri kesempatan pakai begaya berpacaran ‘Islami’ segala. Jadi getol ke masjid, ikut kajian ternyata lagi mantengin sang Idol Boy atawa Idol Girl. Hhhh... payah, deh! Kalau aktivisnya ajaa masih kayak begini. Ketawain, yuk!” (KHP: 108) Memadaikah dua alasan berat tersebut? Nanti, di Bab 3 dan 4, saya berusaha menjelaskan bahwa pacaran islami memang mengandung risiko, tetapi masih dalam batas-batas yang dapat dibenarkan syari’at.

Untuk sekarang, mari kita periksa beberapa hadits yang relevan dengan persoalan islami-tidaknya sikap dan perilaku menertawakan pacaran:

Dari Abu Umamah, ia mengatakan, telah datang seorang pemuda menghadap Rasul seraya berkata, “Wahai Rasulullah, izinkanlah aku berzina!” Orang-orang yang ada di sekitarnya menghampiri dan memaki, “Celaka engkau, celaka engkau!” Akan tetapi, Rasulullah mendekati pemuda itu dan duduk di sampingnya. Kemudian terjadilah dialog. Rasul bertanya: “Apakah engkau ingin [zina] itu terjadi pada ibumu, saudara perempuanmu, saudara perempuan bapakmu, dan saudara perempuan ibumu?” Si pemuda menjawab: “Sekali-kali tidak. Demi Allah yang menjadikan saya sebagai tebusan Tuan.” Rasul berkata: “Begitu pula orang lain, tidak ingin hal itu terjadi pada ibu mereka, saudara perempuan mereka, saudara perempuan bapak mereka, dan saudara perempuan ibu mereka.” Kemudian Rasulullah memegang dada pemuda itu seraya berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya!” (HR Ahmad) Di hadits ini saya lihat, beliau tidak menertawakan atau pun merendahkan si pemuda, tetapi berusaha “menggerakkan jiwa obyeknya secara tidak langsung” (MKI: 24).

Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ada seorang lelaki mencium seorang perempuan (mungkin ‘pacar’-nya), lalu dia datang kepada Nabi saw, dan diberitakannya halnya kepada Nabi. Kemudian itu diturunkan oleh Allah ayat yang maksudnya: “Kerjakanlah shalat pada kedua tepi siang dan sebentar dari malam hari. Sesungguhnya kebaikan [seperti shalat] menghilangkan keburukan [seperti ciuman].” {Hud [11]: 114} Lelaki itu bertanya: “Ya Rasulullah! Apakah [fatwa] ini buat saya saja?” Jawab Nabi saw: “[Fatwa ini berlaku] bagi semua umatku.” (HR Bukhari) Di sini saya mendapati, walau ciuman itu sangat ‘mendekati zina’, beliau tidak mencela pelakunya. Beliau lebih condong memberi tahu “solusinya”. (MCMD: 77)

Nah! Menghadapi permohonan untuk berzina dan laporan perbuatan yang ‘mendekati zina’ seperti itu, tampaknya Rasulullah bersikap sangat lembut. Lantas, mungkinkah beliau bersikap keras terhadap orang-orang yang memelihara rasa cinta pra-nikah dan ingin pacaran tanpa kehendak untuk mendekati zina? Mari kita lakukan pemeriksaan lagi.

Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, dikisahkan seorang shahabat Rasul sedang ‘tergila-gila’. Mughits namanya. Ia berjalan gontai di belakang Barirah sambil menangis sehingga air matanya mengalir sampai ke jenggotnya. Melihat fenomena asmara di luar nikah ini yang berada di depan mata beliau, saya perhatikan bahwa beliau tidak memarahi atau pun memandang rendah dia. Beliau agaknya menampakkan simpati dengan bersabda: “Tidakkah kau takjub melihat betapa cintanya Mughits kepada Barirah?” (HR Bukhari; lihat MCMD: 190.)

Sikap senada tampaknya tercermin pula dalam sebuah hadits riwayat ath-Thabrani. Di situ diceritakan, seorang gadis Hubaisy menerima ajakan seorang tawanan pria untuk ‘pacaran’. Karenanya, ia bersedia menebusnya. Namun, shahabat-shahabat yang menawan dia justru menghukum mati dengan memenggal kepalanya dan kemudian melaporkan kejadian ini dengan antusias. Namun, kepada mereka, Rasulullah agaknya memperlihatkan kemarahan dengan melontarkan sindiran tajam: “Tidak adakah di antara kalian orang yang penyayang?” (Hadits selengkapnya beserta penjelasan lebih lanjut akan saya kemukakan di Bab 2.) Hadits ini mengisyaratkan, Rasulullah mungkin marah kepada orang-orang yang melecehkan pacaran.

Demi kehati-hatian, supaya tidak ‘mengundang’ kemarahan beliau, alangkah baiknya bila kita tidak menertawakan pacaran. Menurut Yusuf Ali, kita boleh tertawa untuk berbagi kesenangan hidup dengan orang lain, tetapi “jangan menertawakan orang untuk menghina atau mengejek.” (QTT3: 1331). Allah berpesan: “Jangan ada suatu golongan memperolok golongan lain. Bolehjadi, yang satu [yang diperolok] lebih baik daripada yang lain [yang memperolok]. Juga jangan ada perempuan menertawakan perempuan lain. Bolehjadi, yang seorang [yang ditertawakan] lebih baik daripada yang lain [yang menertawakan]. ”(al-Hujuraat [49]: 11) “Allah memperingatkan kamu, jangan sekali-kali kamu mengulang lagi [sikap dan perilaku] demikian, kalau kamu memang orang yang beriman.” (an-Nuur [24]: 17) “Barangsiapa tidak bertaubat, orang itulah yang zalim.” (al-Hujuraat [49]: 11)

Demi kehati-hatian pula, alangkah eloknya kalau kita tidak ‘meninggikan suara’ melebihi Nabi. (Lihat al-Hujuraat [49]: 2.) Jika Rasulullah berlemah-lembut dan bersimpati kepada orang yang menjalin hubungan ‘pacaran’ dan memelihara rasa cinta pra-nikah, maka pantaskah kita bersikap keras dan antipati kepada mereka? Allah mengingatkan, “Sungguh dalam diri Rasulullah kamu mendapatkan teladan yang baik.” (al-Ahzaab [33]: 21) Pesan beliau, “Barangsiapa membenci sunnahku, maka bukanlah ia dari golonganku.” (HR Bukhari dan Muslim)

sumber: geocities

Tidak ada komentar: