Jumat, 02 November 2007

Prasangka Zina

Siapa yang berkata dusta, kita tidak selalu tahu. Buktinya sebagai berikut.

Tidak jarang, kita terdorong untuk menelan bulat-bulat berita yang dibawa oleh orang yang berasal dari golongan kita sendiri. Lebih-lebih bila informasi itu, misalnya tentang ‘tidak perawannya 97,05% cewek Yogya’, muncul dari seorang da’i yang menekuni tasauf, suatu dunia yang ‘suci’. (Lihat JNC: 48 dan DCAHA: 91-92.) Tapi, Allah mengingatkan: “Mereka yang membawa berita bohong itu dari golongan kamu juga.” (an-Nuur [24]: 11)

Kendati pembawa berita bohong itu berniat baik, umpamanya untuk “penambahan data-data sesuai dengan perkembangan yang ada,” (PDKI: xi) atau pun untuk “mendorong orang agar mau mengikuti syari’at”, kita sebaiknya tidak menerimanya. (Lihat MINAP: 298.) Alasan kita, “Janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kepalsuan dan janganlah kamu menyembunyikan kebenaran sedangkan kamu mengetahui.” (al-Baqarah [2]: 42) Lagipula, semua perbuatan baik yang hendak dianjurkan dengan menggunakan berita bohong (atau pun hadits palsu) itu sesungguhnya bisa dipenuhi dengan kabar-kabar yang benar (dan hadits-hadits shahih dan hasan). (Lihat BMHN: 31.)

Di samping itu, risiko dosa lantaran penyebaran berita bohong itu sangat besar. Allah berfirman, “Setiap orang dari mereka akan mendapat hukuman atas dosa yang dilakukannya itu, dan orang yang memegang pimpinan di antara mereka, akan mendapat azab yang besar.” (an-Nuur [24]: 11) “Mereka yang senang bahwa perbuatan [fitnah] keji itu tersebar luas di antara orang-orang beriman, mereka akan mengalami azab yang keras di dunia dan di akhirat.” (an-Nuur [24]: 19)

Bolehjadi, para penyebar dakwaan zina itu tidak menantang azab dan tidak senang menyebarkan fitnah. Mereka hanya bermaksud mencegah kemungkaran. Ada yang berusaha mengetengahkan “fenomena yang mengerikan” dan berupaya mencegah “akibat yang lebih parah lagi” (PIA: 6). Ada yang bilang “supaya cinta kita nggak rusak dan nggak ternoda” (JNC: ix). Ada yang tidak mau terima kalau-kalau “kita telah menggerogoti ajaran Islam” (PDKI: vi). Ada yang hendak “mematahkan ‘legitimasi’ aktivitas baku syahwat” (KHP: 18).

Tentu saja, pencegahan kemungkaran merupakan langkah yang sangat terpuji. Dalam Al-Qur’an, surat Ali ‘Imran ayat 110, ‘amar makruf nahi munkar’ disebut lebih dahulu daripada ‘iman kepada Allah’. Ini mengindikasikan betapa berharganya kegiatan ini dalam pandangan Allah. (KSB: 114) Tak mengherankan, Allah menyarankan: “Hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat makruf dan melarang perbuatan mungkar. Mereka itulah orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran [3]: 104) Namun, keburuntungan mereka ini bisa menyusut. Jika mereka menyebarkan dakwaan zina tanpa bukti yang sah menurut syariat, maka pendakwaan itu mungkin merupakan suatu kemungkaran juga.

Rupanya, terhadap sang narasumber, mereka berprasangka ‘baik’. Tapi, terhadap si ‘terdakwa’, mereka berprasangka buruk. Padahal, Allah telah menyampaikan sindiran: “Kenapa ketika mendengar [prasangka zina] itu, kaum mukminin pria dan wanita tidak berprasangka baik dan berkata, ‘[Dakwaan] ini adalah dusta yang nyata’?” (an-Nuur [24]: 12)

Jika kita tidak berprasangka baik kepada ‘terdakwa’ itu, tetapi malah menyebarkan dakwaan tersebut, bisa-bisa kita tergolong menggunjing. Padahal, Allah mengingatkan: “Janganlah kamu menggunjing.” (al-Hujuraat [49]: 12) “Ingatlah ketika kamu menerima [berita prasangka zina] itu dari lidah ke lidah dan kamu katakan dengan mulut kamu apa yang tidak kamu ketahui. Kamu menganggap [penyebaran prasangka zina] itu soal remeh [yang tidak menimbulkan dosa], padahal dalam pandangan Allah itu soal besar [yang mendatangkan azab]. Dan kenapa ketika kamu mendengarnya tidak kamu katakan, ‘Tidak layak kita menggunjingkan soal ini. Mahasuci Engkau [ya Allah]! Ini adalah fitnah yang besar!’?” (an-Nuur [24]: 15-16)

Untuk menghentikan fitnah besar itu beredar lebih jauh, cara terbaiknya barangkali membela ‘terdakwa’. Sekurang-kurangnya, sebaiknyalah kita mengabaikannya dan tidak turut menyebarkannya. Seruan “Mahasuci Engkau, ya Allah!”, menurut Yusuf Ali, adalah pernyataan terkejut dan tidak setuju sama sekali. Seolah-olah dikatakan, “Kami tidak mempercayainya! Dan jangan sekali-kali melibatkan kami dalam penyebaran fitnah!” (Lihat QTT2: 888.)

Ada satu alasan lain mengapa sebaiknya kita memerangi fitnah besar tersebut. Yaitu karena kita didorong oleh Allah untuk membenci kefasiqan (al-Hujuraat [49]: 7), termasuk yang berupa prasangka zina. Menyebarkan prasangka ini bagaikan memakan bangkai saudara kita sendiri. Amat menjijikkan! “Adakah di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tidak! Kamu akan merasa jijik.” (al-Hujuraat [49]: 12) Dalam pandangan Yusuf Ali, orang yang berakal sehat takkan mau makan sesuatu yang menjijikkan, apalagi yang menjijikkan sekali seperti itu. Karenanya, kita diminta untuk tidak mengemukakan prasangka yang bisa melukai perasaan orang lain yang hadir bersama kita, “apalagi untuk mengatakan sesuatu [yang mencemarkan dia] di belakangnya, benar atau [pun] tidak.” (QTT3: 1331)

sumber: geocities

Tidak ada komentar: