Jumat, 02 November 2007

Menuduh Zina

Kiranya, wajarlah dugaan Fauzil Adhim bahwa si ‘peneliti’ beserta penyebar laporannya itu mungkin menghina kaum muslimin. Mengapa? Karena secara tersirat ada dakwaan bahwa hampir semua cewek Yogya (yang sebagian besar muslimah) telah berzina. Sedangkan zina adalah perbuatan keji yang menodai kesucian pelakunya. (Lihat al-Israa’ [17]: 32.)

Pertanyaan kita: Manakah saksi-saksi yang melihat perbuatan zina yang dituduhkan itu? Untuk setiap kejadian zina yang didakwakan itu, “mengapa mereka tidak mendatangkan empat orang saksi?” (an-Nuur [24]: 13) Mengapa, hanya berdasarkan pengakuan 97,05% dari 1.660 responden, mereka mendakwa bahwa hampir semua cewek Yogya (yang saat ini berjumlah ratusan ribu orang) telah berzina? Padahal, bila mereka tak dapat menghadirkan empat orang saksi untuk setiap kejadian zina yang dituduhkan itu, “dalam pandangan Allah, mereka itulah pembohong!” (an-Nuur [24]: 13)

Terhadap para pembohong yang melontarkan dan menyebarkan fitnah seperti itu, tampaknya Allah sangat murka! Sampai-sampai Dia berfirman: “Mereka yang memfitnah perempuan baik-baik, yang tidak tahu-menahu tapi beriman, mereka dilaknat di dunia dan akhirat. Mereka mendapat azab yang berat.” (an-Nuur [24]: 23) “Mereka yang melemparkan tuduhan [zina] terhadap perempuan baik-baik, dan tak dapat mendatangkan empat orang saksi, deralah dengan delapan puluh kali pukulan.” (an-Nuur [24]: 4)

Dengan demikian, jika ada sesuatu yang sifatnya bisa mencemarkan kesucian seorang perempuan (atau, lebih-lebih, banyak perempuan; misalnya: kaum muslimah Yogyakarta), maka ini harus didukung oleh saksi dengan dua kali kekuatan kasus-kasus pembunuhan biasa. Yakni diperlukan empat orang saksi, bukan dua orang. Ini tidak aneh. Mengapa? Karena fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan! (Lihat al-Baqarah [2]: 191 dan 217.)

Yusuf Ali menerangkan, “Gagal memberikan kesaksian demikian yang merupakan faktor utama itu, maka si pemfitnah sendiri harus diperlakukan sebagai orang jahat dan harus mendapat hukuman dengan delapan puluh kali pukulan.” (QTT2: 885) Dibandingkan dengan pelaku zina yang diancam dengan seratus kali pukulan (lihat an-Nuur [24]: 2), dosa penuduh zina yang tidak menghadirkan empat saksi itu bisa sebesar 80% dari dosa zina itu sendiri. Dosa ini cukup besar dan tak bisa dipandang remeh, bukan?

Bila orang-orang itu belum bertaubat dan belum menerima hukuman ini (dengan ikhlas) di dunia, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa pukulan tersebut akan ia dapati kelak di akhirat. “Biarlah [sekarang] mereka tertawa sedikit, tetapi [kelak] mereka menangis yang banyak sebagai balasan atas perbuatan mereka.” (at-Taubah [9]: 82) Apa yang mereka perbuat sehingga kelak mereka menangis yang banyak? “Mereka mencela sebagian dari orang-orang yang beriman ... dan mereka menghina orang-orang itu, tetapi Allah akan membalas hinaan mereka, dan bagi mereka azab yang keras.” (at-Taubah [9]: 79)

Azab yang keras? Barangkali kita merasa kasihan kepada orang-orang itu. Bagaimana kalau kita mohonkan ampunan agar mereka terhindar dari azab Allah tersebut? Jawaban Allah: “Engkau memohonkan ampunan —sampai tujuh puluh kali sekalipun— atau pun tidak memohonkan ampunan, Allah tidak akan mengampuni mereka, sebab [dengan perbuatan mereka tersebut berarti bahwa] mereka mengingkari Allah dan rasul-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum fasiqin itu.” (at-Taubah [9]: 80)

Murka Allah ini agaknya mirip dengan yang ditimpakan kepada kaum munafiqin. (Lihat al-Munaafiquun [63]: 6.) Ini mungkin karena orang-orang munafiq pun tergolong fasiq. (Lihat at-Taubah [9]: 67.) Mereka sama-sama berkata dusta.

Bahwa salah satu ciri orang munafiq itu berkata dusta, kita dapat langsung mengetahuinya dari Al-Qur’an, al-Baqarah [2]: 8-10 dan an-Nuur [24]: 47. Adapun dustanya kata-kata para pendakwa itu bolehjadi lantaran dasar pijakan mereka bukan fakta, melainkan prasangka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya prasangka itu sebohong-bohong perkataan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Kepada kita, Allah swt. berpesan, “Hai orang-orang beriman! Jauhilah prasangka sebanyak mungkin, karena sebagian prasangka adalah dosa.” (al-Hujuraat [49]: 12) Kebanyakan prasangka itu tanpa dasar yang kuat dan akan menyebabkan dosa. Mengapa dosa? Karena, kata Yusuf Ali, prasangka buruk itu “sungguh kejam menimpa laki-laki dan perempuan yang tak bersalah.” (QTT3: 1331)

Oleh sebab itu, kita perlu mengingatkan “orang yang suka melancarkan fitnah atau yang dapat menimbulkan kesan fitnah terhadap kaum perempuan [dan laki-laki] tanpa disertai bukti sebagaimana mestinya.” (QTT2: 885) Umpamanya, ada yang bilang, “sepanjang sejarah nggak ada yang namanya aktivitas pacaran nggak kelewat batas.” (KHP: 127) Konon, pacaran adalah “upaya menyalakan tungku birahi. ... dan jadilah dia [pelakunya] pelacur.” (PIA: 34-35) Katanya, itu karena “pada hakekatnya hubungan intim [seks] merupakan tujuan yang hendak direngkuh dalam berpacaran.” (PDKI: 36) Konon pula, pacaran itu pada hakekatnya “memiliki maksud yang terselubung yaitu memperkenalkan pola hidup free sex.” (PIA: 40)

Pertanyaan kita: Sejarah manakah yang mencatat bahwa pacaran itu selalu identik dengan zina dan pelacuran? Riset manakah yang mengungkap bahwa pacaran itu senantiasa bertujuan merengkuh hubungan free sex?

Barangkali tanggapan mereka: “Memang argumen [tadi] ... banyak yang menyangkal. Tidak semua mereka yang berpacaran melakukan hal serupa. Namun tak satu pun dari penyangkal-penyangkal itu yang mampu membuktikan kebenaran ucapan mereka.” (PDKI: 56) Selain itu, “kalau mau jujur, nggak ada alasan yang bisa menguatkan bahwa pacaran itu bebas [dari] zina!” (KHP: 202)

Namun, dalam pandangan saya, tanggapan tersebut sesat-pikir lantaran ‘kekurangtahuan’. Kesesatan ini terjadi ketika mereka memandang benar suatu pernyataan semata-mata karena belum mendapati bukti kekeliruannya atau menganggap salah suatu pernyataan karena belum mendapati bukti kebenarannya. (Lihat JSP: 14.) Dengan kata lain, walau hingga sekarang mereka belum mengetahui hujjah yang menunjukkan kekeliruan dakwaan mereka dan hujjah yang mengungkap kebenaran pernyataan kita, itu bukan berarti bahwa mereka berada di pihak yang benar atau pun bahwa kita bersalah.

Nanti, di Bab 2 dan 3, kita kemukakan bukti-bukti bahwa pacaran itu bisa bebas dari zina dan tidak selalu mendekati zina. Moga-moga, dengan begitu, terlepaslah mereka dan kita dari kesesatan lantaran kekurangtahuan dalam hal ini. (Aamiin.) Akan tetapi, andai dengan hujjah-hujjah itu mereka masih menganggap kita tidak jujur, dan mereka tetap berprasangka bahwa setiap orang Islam yang pacaran pasti melakukan zina, bagaimana? Jawaban kita: Jika dakwaan mereka tidak diperkuat dengan empat orang saksi untuk setiap kejadian zina yang dituduhkan, maka “dalam pandangan Allah, mereka itulah pembohong!” (an-Nuur [24]: 13)

sumber: geocities

Tidak ada komentar: